MANAJEMEN PENGOLAHAN
LIMBAH DETERJEN SEBAGAI PENCEMAR TERHADAP KUALITAS AIR TANAH
OLEH :
LEO KENNEDY
1210247052
PROGRAM STUDI ILMU
LINGKUNGAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Jumlah industri untuk menghasilkan
berbagai macam produk dan memenuhi kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi.
Selain menghasilkan produk yang dapat digunakan oleh manusia, kegiatan produksi
ini juga menghasilkan produk lain yang belum begitu banyak dimanfaatkan yaitu
limbah. Seiring dengan peningkatan industri ini, juga akan terjadi peningkatan
jumlah limbah.
Limbah yang dihasilkan dapat
memberikan dampak negatif terhadap sumber daya alam dan lingkungan, seperti
gangguan pencemaran alam dan pengurasan sumber daya alam, yang nantinya dapat
menurunkan kualitas lingkungan antara lain pencemaran tanah, air, dan udara
jika limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu. Bermacam limbah industri
yang dapat mencemari lingkungan antara lain limbah industri tekstil, limbah
agroindustri (limbah kelapa sawit, limbah industri karet remah dan lateks
pekat, limbah industri tapioka, dan limbah pabrik pulp dan kertas), limbah
industri farmasi, dan lain-lain. Selain kegiatan industri, di perkotaan limbah
juga dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan rumah tangga. Bentuk limbah yang
dihasilkan oleh komponen kegiatan yang disebut adalah limbah padat dan limbah
cair. Limbah
padat dan cair yang dibuang ke lingkungan langsung dapat menimbulkan
keseimbangan alam terganggu yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu merubah
pH tanah, kandungan mineral berubah dan ganguan nutrisi dari tanah untuk
kehidupan tumbuhan serta sumber air tanah tercemar. Pencemaran air dapat
mengganggu biota air, perubahan BOD, COD serta DO, disamping itu dampak
psikologis akibat dari pencemaran lingkungan yang tidak kalah berbahayanya jika
dibandingkan dengan dampak secara fisik.
Pemakaian bahan
pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin marak di masyarakat luas,
di dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu surfaktan, baik bersifat
kationik, anionik maupun non-ionik. Produksi deterjen di Indonesia
rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk tingkat konsumsinya,
menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah
Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous,
2009). Perkembangan usaha binatu atau laundry
yang sebelumnya hanya dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini
mengalami pergeseran hingga harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat.
Hal ini menyebabkan limbah deterjen semakin banyak kuantitasnya.
Air limbah
detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari lingkungan karena di dalamnya terdapat zat yang disebut
ABS (alkyl benzene sulphonate) yang
merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak oleh
mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan
(Anonimous, 2009).
(Scheibel, 2004) mendefenisikan
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai kimia yang
sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanya surfaktan hanya digunakan sebagai bahan utama pembuat
deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak
digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan suatu senyawa
aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi
maupun biokimiawi. Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya
mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan
kestabilan sistem emulsi. Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam
berbagai industri, seperti industri sabun, deterjen, produk kosmetika dan
produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil,
pertambangan dan industri perminyakan, dan lain sebagainya.
Dengan makin luasnya
pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan manusia maupun kesehatan
lingkungan pun makin rentan. Limbah yang dihasilkan dari deterjen
dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan
mengganggu atau mempengaruhi kehidupan masyarakat (Heryani
dan Puji, 2008).
1.2 Rumusan
Masalah
Sampai saat ini air buangan sisa
deterjen yang termasuk limbah domestik masih merupakan masalah bagi lingkungan.
Hal ini disebabkan meningkatnya penggunaan deterjen yang lebih memudahkan dalam
proses pencucian dibandingkan dengan sabun. Dibandingkan dengan sabun yang di
dalam air akan membentuk garam-garam kalsium dan magnesium yang dapat
didegradasi secara biologis, deterjen yang merupakan kombinasi beberapa
persenyawaan akan meninggalkan bermacam-macam zat kimia yang dapat berbahaya
bagi lingkungan karena sukar diuraikan oleh mikroorganisme dalam air. Salah
satu senyawa kimia yang berbahaya dalam air adalah Linear Alkylbenzene
Sulphonate (LAS). LAS adalah senyawa aquatic toxicity. Kadar LAS dalam
air berturut turut sebesar 1,67, 1,62, dan 29,0 mg/L dapat mematikan ikan,
daphnia magna, dan algae.
Permasalahan yang ada dalam pengolahan
air limbah deterjen khususnya hasil proses laundry adalah belum adanya sistem
pengolahan yang efektif dan efisien secara teknis maupun ekonomis.
II. MANAJEMEN
PENGOLAHAN LIMBAH DETERJEN SEBAGAI PENCEMAR KUALITAS AIR TANAH
2.1 Limbah Deterjen
sebagai Pencemar Kualitas Air
Deterjen merupakan produk teknologi yang
strategis, karena telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat
modern mulai rumah tangga sampai industri. Di sisi lain, detergen harus
memenuhi sejumlah persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm function) atau daya kerja
cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang rendah dan harga
yang terjangkau (Jurado et al, 2006).
Produksi
deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan tingkat
konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di
wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg
(Anonimous, 2009).
Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai keunggulan
antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh
kesadahan air. Pada umumnya detergen bersifat
surfaktan anionik yang berasal dari derivat minyak nabati atau minyak bumi
(Chantraine F et all, 2009).
Gambar 1. Pencemaran Air oleh Limbah Deterjen
Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan
dimana suatu lingkungan sudah tidak alami lagi karena telah tercemar oleh
polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya, masih murni dan alami,
tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang telah
tercemar oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi
organisme yang hidup di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang
tinggal di sekitar sungai tersebut (Anonimous, 2009). Standar Nasional Indonesia (SNI)
mengatakan bahwa air limbah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang
berwujud air.
Notoadmojo (2007) mendefinisikan
bahwa air buangan / air limbah adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia,
baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan
dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar, karena
lebih kurang 80% dan air yang digunakan bagi kegiatan – kegiatan manusia sehari
– hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk kotor (tercemar). Selanjutnya air
limbah ini akhirnya akan mengalir ke sungai dan akan digunakan oleh manusia
lagi. Oleh karena itu, air buangan ini harus dikelola dan diolah secara baik.
2.2 Manajemen
Pengolahan Limbah Deterjen
Detergen merupakan suatu derivatik
zat organik sehingga akumulasinya menyebabkan meningkatnya COD (Chemichal Oxygen Demand) dan BOD (Biological
Oxigen Demand) dan angka permanganat, maka dalam pengolahannya sangat cocok
menggunakan teknik biologi.
Proses biologis dapat dikelompokkan
berdasarkan pemanfaatan oksigen, sistem pertumbuhan, proses operasi. Ditinjau
dari pemanfaatan oksigennya, proses biologis untuk mengolah air limbah deterjen
dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama, yaitu proses aerobic, proses
anaerobic, proses anoksid dan kombinasi antara proses aerobik dengan salah satu
proses tersebut.
Proses biologis dapat pula
dikelompokkan atas dasar proses operasinya yaitu proses kontinu dengan atau
tanpa daur ulang, proses batch, proses semi batch. Proses kontinu biasa
digunakan untuk pengolahan aerobik, sedangkan proses batch atau semi batch
lebih banyak digunakan untuk sistem anaerobic. Apabila BOD tidak melebihi 400
mg/l, proses aerob masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada
BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu
karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh
mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan
organik dalam kondisi aerobik. Bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD
adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic
matter). BOD merupakan suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh
populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap
masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan
bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat
juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable
organics) yang ada di perairan. Sedangkan COD atau Chemical Oxygen
Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan
organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan organik yang ada
sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat
pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala
macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai,
akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan
gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja
nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD
menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. Air
yang bersih kandungan BOD kurang dari 1 mg/l atau 1ppm, jika BOD nya di atas 4
ppm maka air dikatakan tercemar (Hariyadi, 2004).
Pada beberapa penelitian
membuktikan bahwa alkyl benzena sulfonat
(ABS) dapat diuraikan dengan bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter
gergoviae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens,
Pseudomonas euruginosa, Kurthia zopfii, dan sebagainya. Bakteri ini akan
merombak detergen yang juga merupakan zat organik sebagai bahan makanan menjadi
energi.
Penggunaan alat Trickling Filter, yaitu teknik untuk meningkatkan kontak dari air
limbah dengan mikroorganisme pemakan bahan-bahan organik yang mengambil oksigen
untuk metabolismenya dapat dipergunakan sebagai pengolahan limbah deterjen
skala rumah tangga. Diawali dengan mengembangbiakkan bakteri pada media pecahan
genteng selama 40 hari dalam limbah rumah tangga yang ada di selokan, kemudian
dilakukan treatment/sirkulasi terhadap limbah deterjen sintetik pada Trickling
Filter dan dianalisa nilai konsentrasi LAS dengan pengujian MBAS (Metylene Blue Active Surfactan). media pertumbuhan mikroorganisme adalah pecahan genteng yang direndam dalam
selokan 40 hari. Jenis mikroorganisme yang ada di selokan antara lain Crenothrix
dan Sphaerotilus, Chromatium dan Thiobacillus, mikroalgae hijau dan biru,
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella shigae, Eschericia Coli. Pengamatan
langsung dengan menggunakan mikroskop dan pengecatan gram menunjukkan bahwa
komunitas mikroba didominasi oleh bakteri gram negatif, menemukan komunitas
bakteri dari golongan Proteobacteria mendominasi komunitas bakteri yang
mampu mendegradasi deterjen. Pertumbuhan mikroorganisme ini berlangsung cukup
lama karena dipengaruhi oleh suhu dan nutrisi yang diperlukannya. Deterjen akan
mengalami penurunan kadar LAS dengan semakin bertambahnya waktu. Hal ini
disebabkan mikroorganisme aerobik yang memakan zat yang terkandung dalam
deterjen. Kemampuan mikroba terutama bakteri dalam menggunakan deterjen sebagai
sumber karbon utama menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting. Deterjen
dengan kadar LAS yang besar membutuhkan waktu peruraian yang lebih lama dan
deterjen dengan kadar LAS yang kecil akan lebih cepat terurai. Dan semakin lama waktu sirkulasi limbah deterjen
maka kadar LAS pada ketiga merek deterjen yang diteliti akan semakin mengalami
penurunan, karena waktu kontak antara air deterjen dan mikroorganisme aerob
semakin lama sehingga memberikan waktu yang cukup lama pula bagi bakteri untuk
menguraikan deterjen (Heryani dan Puji, 2008).
Penanganan dengan cara lumpur aktif
juga dapat dikembangkan , dan dapat menurunkan COD, BOD 30 – 70 %, bergantung
pada karakteristik air limbah yang, diolah dan kondisi proses lumpur aktif yang
dilakukan. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya,
antara lain oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan
proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan
80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang
lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu
waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).
Dengan tangki septic-filter up
flow yang berisi pecahan batu bata sebagai media hidup mikroba
sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue
Active Surfactan atau MBAS (untuk mendeteksi kandungan detergen) hingga
mencapai efesiensi 87,93 persen. Dari sampel, air limbah yang sebelum
dimasukkan tangki memiliki kandungan MBAS sekitar 2,7 mg per liter. Setelah
keluar tangki, air hanya mengandung MBAS sekitar 0,326 mg per liter, atau lebih
rendah dari baku mutu yang digariskan, yakni 0,5 mg per liter. Adapun BOD yang
didapat adalah 483,75 mg per liter (sebelum proses) dan 286,25 mg per liter
(setelah proses) atau kandungan BOD berkurang 40 persen lebih.
Mendestabilkan partikel deterjen
dapat dimanfaatkan sebagai pengolahan limbah karena detergen mempunyai sifat
koloid. Karakteristik dari partikel koloid dalam air
sangat dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel tersuspensi
bermuatan negative. Cara mendestabilkan atau merusak kestabilan partikel
dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan mengurangi muatan elektrostatis
sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini lazim disebut
sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada partikel untuk
saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan dengan cara
pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris
dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti PAC. Di dalam air PAC akan
terdisposisi melepaskan kation Al3+ yang akan menurunkan zeta
potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi
berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan
mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan dengan penggabungan
partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih besar. Flok
akan diendapkan pada unit sedimentasi maupun klarifikasi. Lumpur yang terbentuk
akan dibuang menggunakan scraper. Cara koagulasi umumnya berhasil
menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD) sebanyak 40-70 %.
Detergen mampu memecah minyak dan
lemak membentuk emulsi sehingga dapat diendapkan dengan menambahkan inhibitor
garam alkali seperti kapur dan soda. Buih yang terbentuk akan dapat dihilangkan
dengan proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi.
Proses flotasi banyak digunakan
untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung juga dapat digunakan sebagai cara
penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur
endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air
flotation).
Adsorpsi menggunakan
karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi kontaminasi detergen. Detergen
yang merupakan molekul organik akan ditarik oleh karbon aktif dan melekat pada
permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon
aktif memiliki jaringan porous (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah
bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil. Zeolit dapat
menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %.
Detergen mempunyai
ikatan – ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan tersebut
membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan haloform dan
trihalomethans jika zat organiknya berlebih (Arifin, 2008).
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan
di perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air
limbah sisa deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan pompa
celup yang harus terendam air untuk menghindari terbentuknya gelembung/buih
detrejen. Pompa celup ini berfungsi sebagai sirkulasi limbah. Selanjutnya di
luar bak penampungan dibuat bak kecil dan pompa dosing yang berisi larutan anti
deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang banyak mengandung deterjen
anionik, maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen kationik sebagai
anti deterjennya, demikian pula sebaliknya. Kemudian larutan anti deterjen ini
dimasukkan ke dalam bak penampungan dan dilakukan proses penetralan. Pada
proses penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam bak penampungan
dengan analisis deterjen sistem MBAS (Metilen
Blue Active Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin yang secara khusus
untuk mengetahui kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat dilakukan
uji coba dengan pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 ml per menit dengan
pompa dosing sampai kadar deterjen 0 ppm. (Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry
dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan kandungan fosfat yang rendah
karena dapat menjadi pencemaran air disekitarnya. Serta dapat melakukan
pengelolaan limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak penampungan
khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous, 2010).
III. MANAJEMEN LIMBAH
DETERJEN SEBAGAI PENCEMAR KUALITAS AIR TANAH
3.1 Bahaya Surfactan Dan
Sabun
(Scheibel, 2004) menyatakan Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk
deterjen (hingga 15-40 % dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat
mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan
(antar muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan.
Dengan surfaktant dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan yang
menyertai proses pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang
stabil.
(Heryani
dan Puji, 2008) menjelaskan Efek negatif dari Surfaktan
dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban alami yamg ada
pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Hasil
pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi
kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan akibat iritasi
‘sedang’ pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan
dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang
terdapat dalam deterjen dapat membentuk chlorbenzene pada proses
klorinisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan senyawa
kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Pengaruh lain yaitu penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan, ikan, dan budding
dalam hidra, kerusakan organ sensoris luar yang peka sehingga dapat mengganggu
pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat – zat dan surfaktan subletal
menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat dan memperkuat
toksisitas zat ini. Air yang mengandung surfaktan (2 – 4 ppm) tidak dapat dideteksi perubahannya.
Lain halnya dengan deterjen, sabun relatif mudah tersuspensi dalam air karena
membentuk micelles, yakni kumpulan (50 – 150) molekul sabun yang rantai
hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung – ujung ionnya menghadap ke air. Sabun yang masuk
kedalam buangan air atau suatu sistem ekuatik biasanya langsung terendap
sebagai garam – garam kalsium dan magnesium. Oleh karena itu beberapa pengaruh
dari sabun dalam larutan dapat dihilangkan. Sehingga dengan biodegradasi, sabun
secara sempurna dapat dihilangkan dari lingkungan. Sabun pertamakali diciptakan
sekitar 2700 SM, terbuat dari berbagai lemak dengan menggunakan kaustik dari
abu kayu untuk menghidrolisis ester (Scheibel, 2004).
3.2 Dampak Limbah
Deterjen terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan
Kemampuan deterjen untuk
menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek lain,
mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan
meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan
rumah lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat
penggunaan deterjen sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat
deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia
yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap
kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni
surfaktan dan builders,
diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia
dan lingkungannya.
Umumnya deterjen yang
digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry
merupakan deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada
deterjen anionik sering ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti
golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride,
diethanolamine/ DEA), chlorinated
trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium
lauryl sulfate (SLS),
sodium laureth sulfate (SLES)
atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa
nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat
menyebabkan kanker.
Senyawa sodium lauryl sulfate
(SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan
dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.
Pembuangan limbah ke
sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya, mengandung tingkat polutan
organik yang tinggi serta mempengaruhi kesesuaian air
sungai untuk digunakan manusia dan merangsang
pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Selain itu deterjen dalam
badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan
toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi
menurun. Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/
liter atau 5 ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm,
ikan akan mati, tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah
dari 5 ppm akan berkembang. Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah
yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan
bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi
karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan
cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati.
Keberadaan busa-busa di permukaan air juga
menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan
oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan
oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan et al, 2005).
Selain itu pencemaran akibat
deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk. Bau busuk ini berasal dari
gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan
oleh bakteri anaerob.
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen,
sebagai softener air dan Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan
air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya,
efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk
Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan
sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup.
Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan
unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sungai/danau, yang
ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak
langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa,
penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang
relatif lebih ramah lingkungan (Anonimous, 2009).
Ahsan et al (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat dapat
dilakukan dengan adsorpsi sederhana serta efisiensi
penghilangan ion fosfat dengan concentrate menurun dengan peningkatan suhu,
sementara peningkatan suhu pada shell (kerang) cenderung dapat meningkatkan
efisiensi ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu, penghilangan ion
fosfat dengan shell dilakukan pada suhu
yang relatif tinggi.
Deterjen sangat berbahaya bagi
lingkungan karena dari beberapa kajian menyebutkan bahwa detergen memiliki
kemampuan untuk melarutkan bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4
Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen
dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan dalam
tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non ionik).
Terdapat dua ukuran yang digunakan
untuk melihat sejauh mana produk-produk kimia (deterjen) aman di lingkungan
yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai (biodegradable). ABS dalam
lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini
dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’.
Dalam pengolahan limbah
konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari
pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan masalah
keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air sehingga pada perkembangannnya
digantikan dengan LAS mempunyai
karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS
mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah dapat diurai
oleh mikroorganisme.
LAS relatif mudah
didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa terdegradasi sampai 90
persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian ujung
rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta
oksidasi, karena itu perlu waktu. Penelitian Heryani dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam
membutuhkan waktu 9 hari untuk menguraikan 50% LAS.
Detergen ABS
sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri
pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan tidak
terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang
terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan permukaan
dari air, pemecahan kembali dari gumpalan (flock) koloid, pengemulsian gemuk
dan minyak, pemusnahan bakteri yang berguna, penyumbatan pada pori – pori media
filtrasi.
Kerugian lain dari
penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini
terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi
menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko
menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat
alkalis. Tingkat keasamannya (pH) antara 10 – 12 (Ahsan S et al, 2005).
IV. UPAYA YANG DILAKUKAN
DALAM MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH DETERJEN UNTUK MENJAGA KUALITAS AIR
Sebagai
alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai pengganti
fosfat (builder) dalam deterjen
karena fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang
berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari
pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan dan pada akhirnya justru
membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya.
Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai macam
teknik misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri,
koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon aktif, lumpur aktif, khlorinasi
dan teknik penampungan dalam bak yang murah dan efektif (Arifin, 2008).
Bagi pemilik
usaha binatu/laundry dapat melakukan
upaya pemilihan deterjen dengan kandungan fosfat yang rendah serta mengelola
limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak penampungan khusus, atau
dengan penambahan arang aktif (Anonimous, 2010).
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen
mempunyai hak untuk memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk
memilih dan hak untuk menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak
sesuai dengan klaimnya Berkaitan dengan hak konsumen tersebut, diperlukan transparansi
dari produsen mengenai kandungan produk deterjen yang dihasilkannya dalam
bentuk pelabelan komposisi bahan baku.
Penggunaan
deterjen seminimal mungkin. Untuk mencegah dampak lebih parah diperlukan
kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen ramah lingkungan.
Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada kemasan produk deterjen,
walaupun untuk membuktikan produk tersebut benar-benar ramah lingkungan harus
melalui uji laboratorium. Konsumen juga dapat meminimalikan pemakaian deterjen
karena pemakaian dalam kadar kurang atau maksimal sama dengan takaran yang
dianjurkan sudah cukup.
Meluruskan persepsi masyarakat bahwa deterjen yang
menghasilkan busa melimpah mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar.
Untuk merubah persepsi tersebut, diperlukan partisipasi baik dari pihak
konsumen maupun produsen. Di satu pihak, konsumen harus tahu bahwa tidak ada
kaitan antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak, produsen seharusnya
tidak lagi menggunakan ‘busa melimpah’ dalam mempromosikan produknya.
Daftar Pustaka
Ahsan S.
2005.
Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste
Materials [Original Paper] . Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202.
. 2009. Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8
Desember 2010].
Badan Pusat Statistik (BPS).
2009. Statistik Lingkungan Hidup Pengelolaan B3 dan Limbah B3. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8
Desember 2010].
Chantraine,
F et all. 2009. Drawbacks of
Surfactant Presence on The Dissolution and Mechanical Properties of Detergent
Tablets : How to Control Interfaces by Surfactan Localization. Journal of
Surfactan and Detergent. 12:59-71.
Heryani.
A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter
[Makalah Penelitian] http://eprints.undip.ac.id [8 Desember
2010].
Jurado, E et all. 2006. Enzyme Based Detergent formulas for Fatty Soils and Hard Surface in a
Continous Flow Device . Journal of Surfactant and Detergents. Vol. 9. Qtr 1.
Scheibel J.
2004.
The Evolution of Anionic Surfactan Tehnology to Meet the Requirement of the
Laundry Deterjent Industry. Journal of Surfactan and Detergent. Vo7. No. 5.
Sigid
hariyadi. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air
Limbah.
Savarino.
P, Motoneri. G, Musso. G, Boffe. V. 2010. Biosurfactan from urban waste for
detergent formulation : surface activity and washing performance. Journal
Surfactant Detergent. 13:59-68.
ijin copast buat skripsi yah hehe
BalasHapus